Ads 468x60px

Minggu, 01 Januari 2012

Sampahku, Sampahmu, Sampah Kita Bersama


“Kebersihan Sebagian dari Iman”, suatu kalimat agamais yang mengena di hati setiap orang. Frase indah, hanya menghiasi dalam bentuk sticker ciamik pada angkutan umum maupun kendaraan pribadi yang berseliweran di hiruk pikuk kehidupan kota. Sebuah kampanye hiperbola, padahal di sepanjang jalan terdapat sampah bertumpuk. Terkadang bahkan sampah bisa dibuang dengan begitu saja dari dalam kendaraan. Terlalu jumawakah saya ketika bertanya kemana iman mereka dalam menjaga kebersihan kota ini? Atau ini hanya bagian dari sekedar jargon semu?

Mudah sekali untuk kita memuji bahkan sangat patuh pada peraturan di negara orang, lalu ketika pulang ke negeri sendiri tangan kita bisa seringan itu membuang sampah hampir dimana saja. If the grass looks greener on the other side of the fence, it’s because they take better care of it, demikian kutipan indah dari Cecil Selig. Sebuah pertanyaan untuk masa depan, mau dikemanakan sampah yang bertumpuk itu? Benarkan mengolah limbah hanyalah satu jalan untuk menanggulangi permasalahan ini?

Pembicaraan diatas hanyalah pembicaraan dalam konsep yang luas, mari kita berbicara mengenai Bandung atau dulu terkenal dengan Parijs Pan Java. Bandung adalah kota yang selama ini menjadi pusat kehidupan saya, teringat akan masa beberapa tahun lalu dimana orang menyebutnya Kota Kembang. Namun belakangan ini jika saya berjalan keliling Bandung, saya sungguh kehilangan banyak hal. Kembang atau bunga adalah hal lain namun yang begitu menyita perhatian saya adalah sampah! Mereka ada dimana-mana! Menurut data Perusahaan Daerah Kebersihan (PD Kebersihan) Kota Bandung, setiap orang di Kota Bandung menghasilkan sampah 27 ton per tahun.

Lalu apa yang saya ingin capai dengan tulisan dan foto yang telah saya kumpulkan selama 6 bulan ini? Sederhananya saya hanya ingn kita semua untuk melihat permasalahan yang seharusnya sudah menjadi perhatian kita semua, baik di Kota Bandung ataupun di semua kota tempat kalian berada. Sampah bukan suatu permasalahan yang setelah dibuang lantas semuanya selesai! Karena setelah mereka keluar dari rumah kita maka mereka akan pergi ke suatu tempat dimana sampah dikumpulkan. Lalu dari sana kemanakah mereka akan dibuang lagi? Seberapa besarkah angka persen yang bisa diolah menjadi bahan yang bisa terpakai? Mungkin hanya sekitar 10 persen dari total sampah yang terkumpul diakhir pembuangannya. Mereka hanya bertumpuk seperti bukit yang sewaktu-waktu bisa saja longsor dan menimbulkan korban jiwa manusia. Karena mereka bukan dari bahan-bahan yang bisa diurai secara alami.

Untuk membuat “sekedar” essay ini saja saya harus melewati birokrasi! Bayangkan memotret sampah harus dilalui dengan ijin survey ini dan itu. Lima bulan dihabiskan hanya untuk meneliti dan menganalisa perilaku penduduk Kota Bandung terhadap sampah dan bulan berikutnya dihabiskan mensurvey lokasi TPA Sarimukti, disamping melakukan pemotretan. Melihat aktivitas para pemulung, sungguh menimbulkan empati yang tidak biasa, banyak sekali cerita yang bisa digali dari sisi kehidupan mereka. Memposisikan diri sebagai pihak yang netral dalam mengambil kesimpulan pada saat survey di lapangan tidaklah mudah, saya berusaha untuk tidak menyalahkan pihak masyarakat maupun PD Kebersihan Kota Bandung. Karena menurut pendapat pribadi, sampah adalah tanggung jawab kita bersama dan jika pegawai yang dipekerjakan pemerintah dengan bayaran kecil diminta untuk berpikir terhadap permasalahan sampah satu propinsi sangatlah tidak tepat! Alhasil kepada pemulunglah kita menggantungkan harapan pengurangan sampah, karena mereka pekerja yang “membantu” kita dalam mengurangi sampah dengan mendaur ulang.

It’s all about the money, kalo mau jujur dan mengambil kesimpulan akhir dari permasalahan sampah ini. Kemana anggaran dan kepentingan ini bermuara? Namun berhenti disitu dulu karena disini saya akan bercerita tentang mereka yang sudah berjasa dalam membantu kita, pemulung. Sebenarnya agak sedikit miris, setelah melihat para pemulung yang mencari penghidupan dibalik timbunan sampah yang menggunung. Namun sebaliknya saya merasa berterima kasih kepada mereka! Pengalaman demi pengalaman di TPS sungguh membawa cerita tersendiri, hari demi hari saya berkenalan dengan banyak pihak termasuk para mandor-mandor lapangan yang setiap hari bertugas pada TPS-TPS di pusat Kota Bandung maupun di pinggiran kota hingga ke TPA Sarimukti. Ini kemudian yang memberikan ide untuk
merangkul mereka terlebih dahulu, agar lebih memudahkan akses ke lokasi yang mereka awasi, dan membantu saya untuk mendapatkan “the real point of view” dari essay ini.

Kenyamanan pertemanan kami sangat mempermudah untuk menangkap momen originalitas keseharian mereka melalui mimik wajah dan ekspresi saat mereka bekerja. Pemotretan saya mulai saat subuh di pemukiman yang cukup rawan, saya ingin menangkap momen disaat para penduduk yang membuang sampahnya ke sungai. Setelah itu saya pindah ke lapangan atau TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sarimukti. TPA Sarimukti dari pusat Kota Bandung kurang lebih berjarak 45 Km, luas lahan TPA Sarimukti yaitu 21 Ha dan ini selalu bertambah seiring dengan volume sampah yang setiap hari ditumpahkan dari Kota Bandung dan sekitarnya. Menumpang truk pengangkut sampah menjadi salah satu pilihan disaat pagi, untuk benar-benar merasakan pengalaman nyata yang menyenangkan.
Akses jalan dari jalan poros propinsi ke lokasi TPA Sarimukti tidak semulus yang dibayangkan, banyaknya sisi dan badan jalan yang rusak cukup mengganggu efisiensi waktu dan tentu saja menganggu operasional pengangkutan sampah ini. Sang sopir truk dan keneknya seringkali melontarkan gurauan dan cerita untuk menghilangkan kejenuhan kami di dalam truk. Hawanya di dalam truk cukup segar diterpa angin sepoi Desa Sarimukti yang sangat sejuk. Pesta kecil kami tiba-tiba buyar ketika mencapai jarak 3 Km sebelum memasuki kawasan TPA Sarimukti, wangi menyengat sudah menyerang dari arah lokasi TPA Sarimukti. Mental diri tidak cukup sekedar keberanian, bau yang sangat menusuk sangat menganggu konsentrasi. Untuk sekedar informasi, masker penutup tidak akan ampuh menolong anda dalam skala apapun. Masker ini nantinya hanya bisa bertahan 10 menit lalu saya lepaskan karena saya seperti seorang “newbie” dalam lingkungan ini. Saya ingin benar-benar berbaur dan merasakan apa yang mereka lalui. Percayalah! Dalam 15 menit pertama, bau menyengat ini akan menjadi sesuatu yang biasa.

Dalam pengerjaan essay ini, beberapa perlengkapan fotografi telah saya persiapkan demikian juga buku catatan kecil. Prime wide lens 28mm, prime normal lens 50mm, zoom lens 28-85mm, dan external flash, beserta body DSLR Nikon D70s lawas menjadi saksi pengalaman baru ini, perlengkapan wajib lainnya yaitu sepatu boot.

Suasana TPA Sarimukti pada hari itu sangat riuh ramai, terdapat Pemulung dari berbagai jenis usia tua, muda, hingga anak-anak yang masing-masing sibuk memilah sampah. Raut wajah mereka nampak serius, sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipis mereka. TPA Sarimukti memiliki spot utama yang berjarak 2 Km dari gerbang utama atau pos jaga TPA. Sepanjang jalur menuju spot utama, terdapat bedeng-bedeng liar yang jauh dari kesan layak, ditempat inilah para pemulung berkumpul dan menjadi rumah mereka.. Saya takjub melihat luasnya kawasan ini, tanpa sadar saya melihat ada pemandangan kabut yang menutupi seluruh area tersebut, itulah gas metana, gas yang menjadi pemicu meledaknya kawasan TPA sebelumnya yang telah ditutup, yaitu TPA Leuwigajah, bencana yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit. Kumpulan gas metana yang membentuk kabut itu agak susah dibedakan dengan kabut alami yang pagi itu nampak indah di kejauhan. Saya pun telah diwanti-wanti petugas jaga TPA Sarimukti agar lebih waspada dengan efek negatif dari gas alami hasil pembusukan sampah ini.

Saya pun beranjak dan tetap menumpang truk sampah ke spot utama, lalu meminta ke sopir truk untuk menurunkan di lokasi yang jaraknya sekitar 20 meter dari sebuah lubang besar, lokasi dimuntahkannya berkubik-kubik timbunan sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat dan kabupaten yang lain. Sambutan laler cukup membuat saya menyeringai sesaat setelah saya menginjakkan kaki di jalanan beraspal TPA Sarimukti yang becek dan beraroma sangat tajam, jumlahnya ntah berapa, mungkin ratusan ribu. Namun sebuah tamparan diwajah ketika mendengar suara tawa canda anak-anak pemulung. Mereka bermain dan membantu orang tua mereka diantara tumpukan sampah, seolah-olah mereka bermain di taman. Ketika masih dalam keadaan tertampar, teringat saya akan beberapa pertanyaan yang sudah saya siapkan untuk mereka. Dalam kebingungan saya memandang daftar panjang pertanyaan ini, mau mulai darimana saya?

Wawancara demi wawancara pun dimulai. Sedikit terkejut dengan respon yang saya dapatkan, jawaban mereka variatif, sangat responsif, sangat welcome dengan kehadiran saya. Setelah melakukan wawancara singkat berikutnya adalah melangkah ke sebuah celah besar. Celah dengan konstruksi sederhana itu berbentuk persegi panjang, memiliki kedalaman sekitar 3 meter, celah yang menjadi favorit para pemulung mencari barang berharga diantara timbunan sampah menggunung yang baru datang dari Kota Bandung dan sekitarnya. Para pemulung selalu bergerak dengan cepat dan dan kadang tidak menghiraukan bahaya yang mengintai. Sesekali sambil memilah sampah, mereka terkadang berjalan santai tanpa menengadah keatas, alat eskavasi besar juga sedang bekerja mengaduk-aduk tumpukan sampah disaat yang bersamaan.

Terdapat sekitar 200 orang pemulung yang sedang bekerja di hari minggu yang cerah ini, menurut petugas jaga hari-hari biasa bisa mencapai angka 600 hingga 800-an orang yang tersebar di setiap sudut lokasi TPA Sarimukti. Penghasilan mereka beragam, info yang didapat dari beberapa pemulung mengatakan bahwa mereka bisa menghasilkan beberapa lembar rupiah dengan nominal Rp.28.000 rupiah hingga Rp.30.000 rupiah setiap harinya. Pendapatan tersebut masih harus dipangkas oleh ongkos-ongkos pajak yang lain, Saya pun tidak mengerti pajak apakah itu, yang jelas di beberapa spot TPA Sarimukti, saya menemukan beberapa calo pengumpul hasil pemilahan sampah para Pemulung. Monopoli penjualan hasil pemilahan sampah oleh para pemulung terbukti ada di lokasi TPA Sarimukti tidak menutup kemungkinan kejadian seperti ini ada juga di lokasi-lokasi TPA yang lain di seluruh Indonesia.

Hasil pemilahan sampah oleh para Pemulung harus diserahkan dan dijual ke orang-orang tertentu di lokasi TPA Sarimukti, tentu saja harganya bisa jadi ditekan lebih rendah dari harga standar, para Pemulung dilarang menjual hasil pemilahannya di luar lokasi TPA Sarimukti. Tidak terasa waktu yang saya habiskan di lokasi TPA Sarimukti ini dimulai dari pagi hingga malam menjelang. Terkadang Saya menghabiskan waktu selama 1 – 2 jam di spot utama TPA Sarimukti, kemudian beranjak ke pos jaga di gerbang utama kemudian balik lagi, sekedar untuk melepas lelah sambil mengepulkan asap kretek untuk sekedar menghibur diri dari  aroma TPA Sarimukti yang sangat menyengat, aroma gas metana. Cuaca di kawasan TPA Sarimukti terkadang diselingi oleh hujan lokal, datangnya hujan sering tiba-tiba dengan cukup deras selama beberapa menit, kemudian langit cerah kembali.

Jika ada rekan-rekan yang berminat menyambangi kawasan TPA, jas hujan atau peralatan sejenisnya untuk safety kamera perlu Anda bawa. Perjalanan hari itu Saya tutup dengan duduk memandang pada dua anak pemulung. kedua tangan kecil mereka begitu fasih dalam mengorek tumpukan sampah yang ditinggalkan satu kota. Ada cerita bahwa mereka ini adalah anak yang orang tuanya entah dimana, akhirnya mereka besar dan tumbuh diantara sampah, kenyataan hidup yang terkadang susah diterima akal sehat.

Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 18.00 wib, setelah berpamitan ke petugas jaga TPA Sarimukti, maka saya harus segera kembali ke Bandung, menyusuri jalur-jalur yang sebelumnya telah saya lalui. Jelas pengalaman ini belum memuaskan untuk bisa merasakan keseluruhannya. Namun cukup bagi saya untuk bisa memahami bagaimana sulitnya hidup sebagai pemulung. Kehidupan yang jelas berbahaya bagi kesehatan namun tetap harus dilalui karena tuntutan ekonomi. Kesimpulan saya begitu banyak untuk dijabarkan, namun sebuah titik nadir terngiang-ngiang dalam hati yang paling dalam. Kedua anak pemulung yang masih sangat belia. Dari semua sampah yang menjadi pusat perhatian saya, saya kemudian mendapatkan nilai kehidupan lebih dari sekedar sampah. Mungkin nilai itu hanya berupa pertanyaan sederhana yang harus dijawab oleh kita semua.

Seberapa banyak anak negeri ini akan menjadikan memulung sebagai profesi mereka? Ketika hidup menjadi tidak adil, disaat seharusnya para dewasa mengingatkan akan hal sederhana, membuang sampah pada tempatnya. Anak-anak ini besar dalam lingkungan dimana sampah menjadi tempat bermain mereka. Jika mereka yang sudah takdir terlahir harus memungut semua yang kita buang, bagaimana bagi mereka yang terlahir untuk membuat keputusan “Bagaimana menjaga lingkungan?” Harus darimana kita berpikir untuk menganggulangi permasalahan ini? Akankah TPA Sarimukti menjadi lebih luas lagi dan mengambil porsi ruang hijau? Haruskah nantinya tumpukan bukit yang dari kejauhan itu adalah tumpukan sampah jika sudah tidak ada lagi bukit karena dikeruk tanpa kendali? Ah….entahlah.














"kami tidak mencuri, kami tidak menipu, kami hanya mencoba untuk hidup"

 

Short Message